Sabtu, 05 Oktober 2013

Model Pendidikan Jiwa Berbasis Pesantren di Era Globalisai





       Pada saat dunia pendidikan diera globalisasi sedang mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang pengetahuan, persoalan mewabahnya gejala kemerosotan moral turut serta mengiringi dan mewarnai tingkatan demi tingkatan kemajuan yang dicapai oleh dunia pendidikan. Persoalan tersebut pada perkembangannya terasa semakin mengkhawatirkan karena wabah dekadensi moral tersebut tidak hanya menimpa orang dewasa dalam berbagai profesinya, melainkan juga telah menimpa para pelajar dalam berbagai jenjang pendidikan yang notabenenya merupakan generasi penerus bangsa Indonesia.
       Menurut Abuddin Nata, fenomena yang sedang terjadi sebagaimana dimaksud sungguhpun hanya menimpa sepersekian persen dari jumlah pelajar secara keseluruhan, namun tetap sangatlah disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan, karena para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak baik sebagai hasil didikan, justru malah terjebak dalam perilaku-perilaku yang buruk (Nata, 2008: 198).
       Keadaan ini dalam pandangan Azyumardi Azra mengantarkan dunia pendidikan Islam di era globalisasi pada minimalnya dua tantangan pokok, yaitu penanaman pemahaman dan pengamalan ajaran Islam serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dalam hal ini pondok pesantren menduduki posisi yang paling banyak dilirik dengan beberapa alasan mendasar. Pertama, karena selama ini pondok pesantren dikenal sebagai lembaga yang membentuk pemahaman agama Islam. Kedua, dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi sebagai bentuk respon positif terhadap perubahan zaman, yaitu al-muhafadzah ‘alal-qadimis-shalih wal akhdzu bil jadidil-ashlah, yang artinya melestarikan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik (Masruroh dan Umiarso, 2011: 113).
       Selanjutnya Azyumardi Azra dalam (Masruroh dan Umiarso, 2011: 113) menambahkan, jika tradisi besar Islam yang dalam hal ini adalah pesantren direproduksi dan diolah kembali sesuai konteks zaman di era globalisasi dengan berlandaskan kepada kaidah hukum tersebut, maka problematika-problematika Islam di era globalisasi yang secara realitas menciptakan banyak produk amoral, akan mampu dijawab secara akurat dan tuntas oleh sistem pendidikan pesantren, serta mampu mengintegralkan diri kedalam sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.
       Namun, agar pengertian al-qadimis-shalih memiliki limitasi yang jelas, maka dalam menentukan aspek-aspek yang termasuk di dalamnya kita harus selalu mengacu kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber acuan utama, sekaligus mengambil dari sumber-sumber lain yang berasal dari para sahabat, tabi’in, mujtahidin, dan para ulama salaf. Sedangkan dalam menentukan al-jadidil-ashlah kita harus benar-benar bersikap kritis dan selektif, tapi tetap dalam ketinggian batas-batas objektivitas. Kita harus berusaha melakukan seleksi dan telaah analitis dengan pikiran jernih dan pertimbangan yang matang, jangan sampai kita terpedaya oleh keindahan kulit luar, atau terjebak dalam sikap-sikap semacam subjektivitas, fanatik buta, maupun penilaian temporal, kita juga tidak boleh terlalu bersikap apriori (su’uzzhan) yang tidak logis dan argumentatif (Tidjani, 2008: 119).
       Dalam pandangan Muhammad Tidjani Jauhari, secara garis besar al-qadimis-shalih dan al-jadidil-ashlah yang bisa dikembangkan dalam dunia pendidikan pesantren dapat dikelompokkan dalam sembilan jenis komponen sebagai berikut ini. Pertama, komponen nilai sebagai dasar dan sumber acuan utama. Kedua, komponen tujuan pendidikan. Ketiga, komponen tradisi atau sunnah. Keempat, komponen substansi atau pokok-pokok materi pendidikan. Kelima, komponen program pendidikan. Keenam, komponen strategi dan metode pendidikan. Ketujuh, komponen kepemimpinan dan tenaga pendidikan. Kedelapan, komponen peserta didik. Kesembilan, komponen sumber daya pendidikan (Tidjani, 2008: 121).
       Selanjutnya, kedudukan sistem pendidikan pesantren yang dapat dikatakan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan mengusir penjajah sekaligus berperan penting dalam membentuk sistem pendidikan nasional, semenjak tahun 2003 baru mulai dipengaruhi oleh kebijakan politik pendidikan yang diambil pemerintah pusat, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang pengakuan kesetaraan penyelengaraan pendidikan formal, non formal, maupun informal oleh pemerintah Indonesia, tepatnya yang terdapat pada pasal 30 bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan (Http://www.alkhirot.net/2011/07/pedoman-pesantren-muadalah-depag.html - Pedoman Pesantren Muadalah Depag).
       Namun, di sisi lainnya sejarah juga membuktikan, seiring berjalannya waktu serta terlepas dari sifat ketergantungan terhadap bentuk kebijakan yang diambil pemerintah terhadap keberadaannya, pesantren tetap eksis menjalankan sistem pendidikan Islam sebagai landasan aktivitas pembelajarannya. Bahkan, kenyataan faktual saat ini justru tengah menunjukkan semakin kuat dan besar peran penting pesantren dalam pandangan masyarakat Indonesia. Terbukti dengan semakin bermunculan pondok-pondok pesantren dalam berbagai corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Minat para orang tua untuk untuk mengirimkan putra-putrinya ke pesantren juga semakin meningkat, termasuk dari kalangan elit masyarakat (Tidjani, 2008: 80).
       Menurut Ahmad Tafsir dalam (Nata, 2008: 173), secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan al-Hadis serta pemikiran para ulama dalam praktek sejarah umat Islam. Berbagai komponen dalam pendidikan dimulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru dengan murid, evaluasi, sarana-prasana, lingkungan, dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai Islam. Jika berbagai komponen tersebut telah membentuk sebuah sistem yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai sistem pendidikan Islam.
       Penjabaran yang diberikan Ahmad Tafsir di atas sejalan dengan penjelasan lanjutan yang lebih lengkap dalam pandangan Muhammad Tidjani Jauhari. Menurut beliau, dengan berpedoman kepada landasan pendidikan Islam yang komprehensif dan menyeluruh, maka akan terbentuklah pendidikan yang islami, meliputi level individu, keluarga, sekolah, masyarakat, maupun umat manusia yang universal, dengan orientasi trio dimensi hubungannya, yaitu hubungan vertikal dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT, hubungan horizontal sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya (Tidjani, 2008: 3).
       Keberadaan pesantren sebagai lembaga yang menerapkan sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya merupakan institusi pendidikan yang telah mengenyam sejarah paling panjang di Indonesia. Institusi ini telah lahir, tumbuh, dan berkembang dalam jangka waktu yang sangat lama sebelum dikenalnya lembaga pendidikan lain yang terdapat di Indonesia (Masruroh dan Umiarso, 2011: 209).
       Sebagaimana diketahui, dalam pendidikan yang islami, figur Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai contoh ideal (ushwah) sekaligus tolak ukur bagi berhasil atau tidaknya sebuah pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan Nabi SAW telah memperoleh pendidikan langsung dari Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Mendidik (al-Murobbi al-A’zham) lewat wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau, sehingga Ummul Mukminin ‘Aisyah R.A. menyatakan bahwa akhlak Rasulullah SAW merupakan penjabaran dari akhlak Qur’ani, dan tingkah laku beliau merupakan manifestasi dari terjemahan, isi kandungan, dan petunjuk Al-Qur’an selaku sumber utama pendidikan Islam (Tidjani, 2008: 4). Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Ahzab [33]: 21):
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَ الْيَوْمَ الْاَخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
(Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan Kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah)
       Pembahasan tentang akhlak yang dalam hal ini meliputi keseluruhan pola tingkah laku dan cara bertutur kata manusia memiliki hubungan langsung dengan keberadaan jiwa, sebagaimana pendapat Ibnu Miskawaih, akhlak sangat berkaitan erat dengan jiwa, karena akhlak adalah sikap dan prilaku yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran lagi (Nata, 2008: 203).
       Oleh karenanya dalam pandangan Al-Farabi, objek yang pertama kali dididik dalam pendidikan Islam adalah jiwa manusia, karena bila jiwa sudah terdidik dengan baik dan benar maka seseorang dengan sendirinya akan memiliki perilaku dan sikap berfikir yang lebih dewasa serta bersahabat pada semua lini kehidupannya (http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/6-rivai.pdf - Pendidikan Jiwa Alfarabi).
       Abdul Hamid Al-Balali dalam (Al-Balali, 2003: 11), menjelaskan bahwasannya proses pendidikan jiwa yang dilaksanakan harus bersanding erat dengan proses pendidikan lainnya, sebagaimana madrasah pendidikan jiwa pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang dapat sukses dikarenakan keberadaannya selalu bersanding erat dengan madrasah-madrasah Al-Qur’an, Al-Hadis, Fiqih, Bahasa, dan lain sebagainya.
       Hakikat dari tujuan dan kesuksesan pendidikan jiwa dalam Islam adalah, kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami tujuan penciptaan dirinya oleh Allah, berikut kemampuan untuk mengetahui jenis-jenis rintangan yang dapat menghambatnya dalam mencapai tujuan tersebut (Al-Balali, 2003: 2). Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56):
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
(Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku)