Pada saat
dunia pendidikan diera globalisasi sedang mengalami kemajuan pesat dalam
berbagai bidang pengetahuan, persoalan mewabahnya gejala kemerosotan moral turut serta mengiringi dan
mewarnai tingkatan demi tingkatan kemajuan yang dicapai oleh dunia pendidikan. Persoalan tersebut pada perkembangannya terasa semakin mengkhawatirkan karena wabah dekadensi moral tersebut
tidak hanya menimpa orang dewasa dalam berbagai profesinya, melainkan juga
telah menimpa para pelajar dalam berbagai jenjang pendidikan yang notabenenya merupakan generasi penerus bangsa Indonesia.
Menurut
Abuddin Nata, fenomena yang sedang terjadi sebagaimana dimaksud sungguhpun
hanya menimpa sepersekian persen dari jumlah pelajar secara keseluruhan, namun
tetap sangatlah disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan,
karena para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak baik sebagai hasil
didikan, justru malah terjebak dalam perilaku-perilaku yang buruk (Nata, 2008:
198).
Keadaan ini dalam pandangan Azyumardi
Azra mengantarkan dunia pendidikan Islam di
era globalisasi pada minimalnya dua tantangan pokok, yaitu penanaman pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang dalam hal ini pondok pesantren menduduki posisi yang paling banyak dilirik
dengan beberapa alasan mendasar. Pertama, karena selama ini pondok
pesantren dikenal sebagai lembaga yang membentuk pemahaman agama Islam. Kedua,
dalam khazanah tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk
diresapi sebagai bentuk respon positif terhadap perubahan zaman, yaitu al-muhafadzah
‘alal-qadimis-shalih wal akhdzu bil jadidil-ashlah, yang artinya
melestarikan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik (Masruroh
dan Umiarso, 2011: 113).
Selanjutnya Azyumardi Azra dalam (Masruroh dan Umiarso, 2011: 113)
menambahkan, jika tradisi besar Islam yang dalam hal ini adalah pesantren
direproduksi dan diolah kembali sesuai konteks zaman di era globalisasi dengan
berlandaskan kepada kaidah hukum tersebut, maka problematika-problematika Islam
di era globalisasi yang secara realitas menciptakan banyak produk amoral, akan
mampu dijawab secara akurat dan tuntas oleh sistem pendidikan pesantren, serta
mampu mengintegralkan diri kedalam sistem pendidikan nasional secara
menyeluruh.
Namun, agar
pengertian al-qadimis-shalih memiliki limitasi yang jelas, maka dalam
menentukan aspek-aspek yang termasuk di dalamnya kita harus selalu mengacu
kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber acuan utama, sekaligus mengambil
dari sumber-sumber lain yang berasal dari para sahabat, tabi’in, mujtahidin,
dan para ulama salaf. Sedangkan dalam
menentukan al-jadidil-ashlah kita harus benar-benar bersikap kritis dan
selektif, tapi tetap dalam ketinggian batas-batas objektivitas. Kita harus
berusaha melakukan seleksi dan telaah analitis dengan pikiran jernih dan
pertimbangan yang matang, jangan sampai kita terpedaya oleh keindahan kulit
luar, atau terjebak dalam sikap-sikap semacam subjektivitas, fanatik buta, maupun
penilaian temporal, kita juga tidak boleh terlalu bersikap apriori (su’uzzhan)
yang tidak logis dan argumentatif (Tidjani, 2008: 119).
Dalam pandangan Muhammad Tidjani Jauhari, secara garis besar al-qadimis-shalih dan al-jadidil-ashlah
yang bisa dikembangkan dalam dunia pendidikan pesantren dapat dikelompokkan
dalam sembilan jenis komponen sebagai berikut ini. Pertama, komponen
nilai sebagai dasar dan sumber acuan utama. Kedua, komponen tujuan
pendidikan. Ketiga, komponen tradisi atau sunnah. Keempat, komponen
substansi atau pokok-pokok materi pendidikan. Kelima, komponen program
pendidikan. Keenam, komponen strategi dan metode pendidikan. Ketujuh,
komponen kepemimpinan dan tenaga pendidikan. Kedelapan, komponen
peserta didik. Kesembilan, komponen sumber daya pendidikan (Tidjani, 2008:
121).
Selanjutnya, kedudukan sistem
pendidikan pesantren yang dapat
dikatakan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan mengusir
penjajah sekaligus berperan penting dalam membentuk sistem pendidikan nasional,
semenjak tahun
2003 baru mulai dipengaruhi oleh kebijakan politik pendidikan yang diambil
pemerintah pusat, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang pengakuan kesetaraan
penyelengaraan pendidikan formal, non formal, maupun informal oleh pemerintah
Indonesia, tepatnya yang terdapat pada pasal 30 bagian kesembilan tentang
pendidikan keagamaan (Http://www.alkhirot.net/2011/07/pedoman-pesantren-muadalah-depag.html -
Pedoman Pesantren Muadalah Depag).
Namun, di sisi
lainnya sejarah juga membuktikan, seiring berjalannya waktu serta terlepas dari
sifat ketergantungan terhadap bentuk kebijakan yang diambil pemerintah terhadap
keberadaannya, pesantren tetap eksis menjalankan sistem pendidikan Islam
sebagai landasan aktivitas pembelajarannya. Bahkan, kenyataan faktual saat ini
justru tengah menunjukkan semakin kuat dan besar peran penting pesantren dalam
pandangan masyarakat Indonesia. Terbukti dengan semakin bermunculan
pondok-pondok pesantren dalam berbagai corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan,
bukan hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Minat para orang tua untuk
untuk mengirimkan putra-putrinya ke pesantren juga semakin meningkat, termasuk
dari kalangan elit masyarakat (Tidjani, 2008: 80).
Menurut Ahmad Tafsir dalam (Nata, 2008:
173), secara
sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
al-Hadis serta pemikiran para ulama dalam praktek sejarah umat Islam. Berbagai
komponen dalam pendidikan dimulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, guru,
metode, pola hubungan guru dengan murid, evaluasi, sarana-prasana, lingkungan,
dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai Islam. Jika berbagai komponen tersebut telah membentuk sebuah sistem yang
berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya
dapat disebut sebagai sistem pendidikan Islam.
Penjabaran yang diberikan Ahmad
Tafsir di atas sejalan dengan penjelasan lanjutan yang lebih lengkap dalam
pandangan Muhammad Tidjani Jauhari. Menurut beliau, dengan berpedoman kepada
landasan pendidikan Islam yang komprehensif dan menyeluruh, maka akan
terbentuklah pendidikan yang islami, meliputi level individu, keluarga,
sekolah, masyarakat, maupun umat manusia yang universal, dengan orientasi trio
dimensi hubungannya, yaitu hubungan vertikal dalam rangka pengabdian kepada
Allah SWT, hubungan horizontal sesama manusia, dan hubungan manusia dengan
lingkungannya (Tidjani, 2008: 3).
Keberadaan pesantren sebagai
lembaga yang menerapkan sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya merupakan
institusi pendidikan yang telah mengenyam sejarah paling panjang di Indonesia.
Institusi ini telah lahir, tumbuh, dan berkembang dalam jangka waktu yang sangat
lama sebelum dikenalnya lembaga pendidikan lain yang terdapat di Indonesia
(Masruroh dan Umiarso, 2011: 209).
Sebagaimana diketahui, dalam
pendidikan yang islami, figur Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai contoh ideal (ushwah)
sekaligus tolak ukur bagi berhasil atau tidaknya sebuah pendidikan Islam. Hal
ini dikarenakan Nabi SAW telah memperoleh pendidikan langsung dari Allah SWT
sebagai Dzat yang Maha Mendidik (al-Murobbi al-A’zham) lewat wahyu yang
diturunkan Allah kepada beliau, sehingga Ummul
Mukminin ‘Aisyah R.A. menyatakan bahwa akhlak Rasulullah SAW merupakan
penjabaran dari akhlak Qur’ani, dan tingkah laku beliau merupakan manifestasi
dari terjemahan, isi kandungan, dan petunjuk Al-Qur’an selaku sumber utama
pendidikan Islam (Tidjani, 2008: 4). Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Ahzab [33]: 21):
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ
وَ الْيَوْمَ الْاَخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
(Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan
Kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah)
Pembahasan tentang akhlak
yang dalam hal ini meliputi keseluruhan pola tingkah laku dan cara bertutur
kata manusia memiliki hubungan langsung dengan keberadaan jiwa, sebagaimana
pendapat Ibnu Miskawaih, akhlak sangat berkaitan erat dengan jiwa, karena akhlak adalah sikap dan prilaku yang lahir dengan mudah dari jiwa
yang tulus tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran lagi (Nata, 2008: 203).
Oleh karenanya dalam pandangan Al-Farabi, objek yang pertama kali
dididik dalam pendidikan Islam adalah jiwa manusia, karena bila jiwa sudah
terdidik dengan baik dan benar maka seseorang dengan sendirinya akan memiliki
perilaku dan sikap berfikir yang lebih dewasa serta bersahabat pada semua lini
kehidupannya (http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/6-rivai.pdf - Pendidikan Jiwa Alfarabi).
Abdul Hamid Al-Balali dalam
(Al-Balali, 2003: 11), menjelaskan bahwasannya proses pendidikan jiwa yang
dilaksanakan harus bersanding erat dengan proses pendidikan lainnya,
sebagaimana madrasah pendidikan jiwa
pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang dapat sukses
dikarenakan keberadaannya selalu bersanding erat dengan madrasah-madrasah
Al-Qur’an, Al-Hadis, Fiqih, Bahasa, dan lain sebagainya.
Hakikat dari tujuan dan kesuksesan
pendidikan jiwa dalam Islam adalah, kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami
tujuan penciptaan dirinya oleh Allah, berikut kemampuan untuk mengetahui
jenis-jenis rintangan yang dapat menghambatnya dalam mencapai tujuan tersebut (Al-Balali, 2003: 2). Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56):
وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا
لِيَعْبُدُوْنِ
(Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku)